Oleh: Fikri Mahmud
Akhir-akhir ini ada sebagian dari penceramah memandang sinis, bahkan mencela istilah Ta’wil; menurut mereka kita tidak boleh menta’wilkan ayat Al-Qur’an, menafsirkannya dibolehkan. Benarkah demikian? Bila kita telusuri sejarah penggunaan istilah Ta’wil dan Tafsir, justeru yang lebih tepat kita gunakan sebetulnya adalah istilah Ta’wil, bukan Tafsir. Kenapa demikian? Karena beberapa alasan:
Pertama, dalam Al-Qur’an kata Tafsir hanya disebut sebanyak satu kali saja dan itu dinisbatkan kepada Allah SWT, bukan kepada manusia, yaitu pada surat al-Furqan [25]: 33: “وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا”. Kedua, Nabi berdo’a untuk Ibnu Abbas menggunakan kata Ta’wil, bukan Tafsir: “اللَّهُمَ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ”. Ketiga, kata Ta’wil disebut sebanyak 17 kali dalam Al-Qur’an; hanya 4 kali dinisbatkan kepada Allah SWT, selebihnya disnisbatkan kepada lainnya.
Barangkali, itulah sebabnya Imam al-Mufassirin Ibnu Jarir at-Thabari menulis kitab Tafsir, beliau menamai kitabnya menggunakan kata Ta’wil, bukan Tafsir: “جامع البيان عن تأويل آي القرآن”. Ketika menafsirkan ayat, beliau senantiasa menggunakan kata Ta’wil, “ القول في تأويل قوله جل ثناؤه “, bukan kata Tafsir. Sungguhpun demikian, para ulama Tafsir sesudahnya lebih banyak menggunakan kata Tafsir ketimbang Ta’wil. Itu tidaklah mengapa, karena pada hakikatnya kedua kata tersebut bertujuan untuk mengungkap dan menjelaskan makna serta kadungan ayat-ayat Al-Qur’an. Karena itu, sebagian ulama berpandangan bahwa Tafsir dan Ta’wil adalah sama. Tetapi, memandang kata Ta’wil sebagai sebuah istilah yang peyoratif dan negatif, tidaklah tepat.